Senin, 07 Desember 2009

Belajarlah dari Daerah

Tulisan ini untuk menanggapi Trade Unions Meeting for Political Consensus/Tumpoc (Pertemuan Serikat Buruh untuk Konsensus Politik) di harian Kompas, 1 Desember 2009. Sebuah pertemuan “spektakuler” yang dihadiri penjabat sementara Ketua Umum KSPSI Mathias Tambing, Presiden KSPI Thamrin Moosi, Presiden KSBSI Rekson Silaban, dan elite buruh dari 35 federasi serikat buruh untuk membahas berbagai dinamika serikat pekerja. Pertemuan berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, tanggal 23 - 24 November 2009.

Sejak Presiden BJ Habibie meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pascareformasi, diikuti lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serikat buruh di Indonesia tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hal itu wajar karena undang-undang itu mengizinkan sedikitnya 10 orang membentuk serikat buruh. Sampai bulan Juni 2007, ada tiga konfederasi serikat buruh, 86 federasi serikat buruh, dan 11.000 serikat buruh/serikat pekerja tingkat perusahaan.

KSPSI mewadahi 13 federasi dan mengklaim memiliki sedikitnya 4 juta anggota, KSPI dengan 10 federasi dengan sekitar 2 juta anggota, dan KSBSI memiliki sedikitnya 2 juta anggota. Namun, pemerintah memperkirakan pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja baru 4 juta orang, dari sekitar 30 juta pekerja formal. Kondisi paradoks yang terjadi semakin merugikan buruh. Serikat buruh baru terus lahir, padahal minat pekerja berserikat semakin merosot. Pada sisi lain, perjuangan merebut simpati buruh pun lambat laun berubah menjadi persaingan tidak sehat. Untunglah, para elite buruh menyadari hal ini dan bertekad berbuat sesuatu sebelum terlambat..

Menurut Rekson, seperti dikutip Kompas, kehadiran para pimpinan serikat buruh nasional itu sangat penting untuk mereposisi gerakan buruh Indonesia. “Kami harus berbuat sekarang supaya tidak dipersalahkan oleh generasi penerus karena tidak melakukan apa-apa untuk memperkuat gerakan buruh Indonesia. Tak akan ada pihak yang mau mendengar suara gerakan buruh kalau serikat buruh terfragmentasi,” katanya.

Soliditas di Tingkat Lokal

Tentu saja, kita berharap agar persatuan di tingkat nasional tidak sebatas retorika dan wacana. Mereka memang harus segera menyadari, bahwa saat ini anggota serikat pekerja semakin jauh berkurang. Bahkan sebagian besar yang lain kehilangan minat untuk berserikat. Pun demikian, suaranya tidak lagi banyak didengar.

Saya membayangkan kondisi serikat pekerja di Serang, Banten. Disana, pertemuan yang dihadiri para pucuk pimpinan organisasi serikat pekerja yang ada di Serang bahkan dilakukan hampir tiap bulan, dan sudah berlangsung sejak empat tahun yang lalu. Mereka membentuk Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang, yang terdiri dari FSPMI, FSP-KEP, KSPSI, KSBSI, dan SPN. Bahkan, pada rapat terakhir yang diselenggarakan di Bhayangkara – Serang, juga nampak hadir Ketua Korwil Federasi Serikat Buruh Banten (FSBB) Kab. Serang.

Mereka biasa mengerjakan isu-isu strategis secara bersamaan. Terbukti lebih efektif, dan hasilnya juga lebih baik.

Memang perbedaan pandangan tidak bisa terhindarkan. Namun pesan yang ingin disampaikan, bahwa persatuan dan soliditas gerakan bisa diwujudkan. Sebab nyatanya, di tingkat lokal, sudah ada yang berhasil menjalankan.

Beberapa kali, saya juga pernah mendengar bahwa ada beberapa induk organisasi di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat) yang tidak merestui anggotanya membentuk aliansi dengan SP/SB lain di tingkat daerah. Saya tidak tahu pasti apa sebabnya, barangkali khawatir di daerah akan melepaskan diri (mendirikan SP/SB baru).

Namun dengan pertemuan Sukabumi, mudah-mudahan hal itu tidak lagi terjadi. Tidak ada yang kuat tanpa persatuan. Maka, memang sudah saatnya bagi kita untuk menghapus jauh-jauh kepentingan pribadi dan egoisme dalam mengelola organisasi.

Oleh: Kahar S. Cahyono
Founder suarasolidaritas.blogspot.com